Jokowi Membangun Kota Modern

17 April 2015

Ilustrasi  LRT

Keputusan pemerintah bakal membangun jaringan transportasi massal atau mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT) di sejumlah kota besar mulai tahun ini, merupakan sebuah lompatan besar. Pemeritah tidak hanya memikirkan bagaimana membangun desa dan daerah minus di perbatasan lalu memberdayakan masyarakatnya. Secara simultan, ternyata pemerintah juga ingin membuat kota-kota besar di Indonesia dapat bersaing dengan kota-kota lain di dunia. Pemerintah ingin kota-kota kita menjadi lebih nyaman, aman, modern, ramah lingkungan, serta efisien.

MRT dan LRT akan sangat bermanfaat mengekselerasi peningkatan peran angkutan umum massal mengatasi kebutuhan perjalanan manusia. Di Jakarta pada 2027, MRT akan mampu menampung 25 persen dari total perjalanan menggunakan angkutan umum. Namun, hemat kita, bicara transportasi massal, jangan kemudian latah terpaku pada kedua sistem tersebut. Pembangun MRT dan LRT butuh pertimbangan matang.
Selain MRT dan LRT, sistem transportasi massal sebuah kota modern adalah bus rapid transit (BRT). MRT memerlukan biaya besar. Biaya satu kilometer pembangunan MRT bisa digunakan untuk 12 km BRT. Di Jakarta, BRT dibangun selama satu masa pemerintahan gubernur, sedangkan MRT baru rampung dalam perioode kepemimpinan empat atau lima gubernur.
Belum jelas apakah kota-kota yang disebutkan Presiden Jokowi tadi sudah melalui pengkajian mendalam. Yang pasti, MRT maupun LRT tidak boleh dibangun hanya untuk kepentingan agar sebuah kota terlihat lebih mentereng. Sistem transportasi yang digunakan itu benar-benar mengefisienkan kota dan menjadikannya penopang pembangunan.

Mengikuti rencana pemerintah hedak membangun MRT dan LRT di beberapa kota besar, beberapa hal prinsip yang tak boleh diabaikan. Pertama, setiap kota harus sudah memiliki masterplan transportasi kota. Di dalamnya terdapat desain besar tata kota agar suatu saat proyek besar ini tidak mubazir atau tumpang tindih dengan proyek pembangunan kota selanjutnya.

Perkara desain besar ini penting karena bangsa kita belum terbiasa memiliki rancangan besar masa depan, akan menjadi apa sebuah kota 10, 20, atau 100 tahun ke depan? Jakarta adalah kota peninggalan Belanda yang telah memiliki konsep tata kota pada zamannya. Toh, sekarang Jakarta terkesan semrawut seolah tak pernah memiliki peta dasar.

Ketika kota-kota itu sudah memiliki masterplan dalam perencanaan pembangunan jangka panjang kota, ada baiknya dilakukan revisi bila memang belum memasukkan MRT atau LRT dalam rancang bangun kota.
Berkaitan erat dengan masterplan adalah konsistensi pembangunan MRT. Bukan rahasia, di Indonesia ganti pemimpin ganti kebijakan. Keberlanjutan proyek besar ini harus dijamin.

Kedua, pembiayaan proyek puluhan sampai ratusan triliun rupiah itu harus jelas. Menurut Presiden, pemerintah akan mengajak investor Jepang dan Tiongkok untuk bekerja sama membangun proyek besar ini. Bahkan, swasta nasional akan dilibatkan dalam pembangunannya. Tentu saja apa yang disebutkan Jokowi tidak semudah pelaksanaannya nanti.

Optimisme itu ada ketika kita melihat apa yang dilakukan Jokowi saat melempangkan pembangunan MRT Jakarta. Ia melakuan terobosan birokrasi dengan menemui beberapa menteri sehingga pembamnguan MRT dimulai. Seharusnya daerah akan lebih mudah mengimplementasikan rancangan ini karena pemerintah pusat akan di bawah Jokowi telah menginisiasi.

Ketiga, sebisa mungkin pembangunan proyek ini melibatkan sumber daya dalam negeri. Boleh kita bekerja sama dengan negara lain, seperti Jepang atau Tiongkok, namun harua ada kejelasan bahwa Indonesia pun mendapatkan transfer teknologi. Kita mendukung pelibatan PT Industri Kereta Api (Inka) sebagai rolling stock dalam penggarapan kereta.

Tiang pancang LRT Jakarta atau monorel adalah kekacauan yang terjadi di antara rancangan tata kota, keterdesakan, hingga pembiayaan. Masyarakat Jakarta telah dibuat berharap mendapatkan fasilitas transportasi modern dengan munculnya rencana pembangunan monorel. Warga Jakarta sudah percaya bahwa kota ini butuh monorel sepanjang 14,2 km, yakni Semanggi-Casablanca-Kuningan-Semanggi serta sepanjang 9,7 km, melayani Kampung Melayu-Casablanca-Tanah Abang-Roxy. Rencana sejak 2003 tersebut belum terwujud hingga kini. Pilar-pilar besar monorel yang terbengkalai dan kini mengotori pemandangan kota menjadi bukti ketidakmatangan perencanaan makro tata kota, terutama yang bersangkut-paut dengan masalah transportasi massal. Kita tidak ingin ini terjadi di kota-kota besar yang disebut presiden.

Keempat, pemerintah kota berinisiatif mengembangkan kota bukan hanya dari sistem transportasi. Pemerintah kota dituntut kreatif, tanpa harus menunggu komando pusat, membangun sistem informasi teknologi sebagai pelengkap kota nyaman, aman, modern, ramah lingkungan, serta efisien.


sumber

© Copyright 2017 INKA - All Rights Reserved