Soal Kereta Cepat, DPR Tak Soal Jepang-China Asal APBN Aman

31 August 2015

Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima saat menghadiri Asia Africa Parliamentary Conference sebagai rangkaian KTT Asia-Afrika, Di Komplek Parlemen Senayan, Kamis, 23 April 2015.

Anggota Komisi VI DPR, Aria Bima angkat bicara mengenai proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang diperebutkan Jepang dan China. Menurutnya, pembangunan kereta cepat bisa dilaksanakan oleh siapapun selama tujuannya untuk investasi dan tidak menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

"Bisa saja dilaksanakan asal konteksnya investasi dan tidak menggunakan APBN,"kata Aria, ketika dihubungi CNN Indonesia pada Minggu (30/8).

Namun, Aria menekankan bahwa pembangunan kereta cepat belum terlalu mendesak untuk dilakukan pada saat ini. Menurutnya, lebih baik pemerintah fokus kepada pembangunan infrastruktur dasar lainnya yang lebih memperkuat aspek produksi.

"Saya belum lihat ada urgensi dari pengadaan kereta cepat, tapi jika ada investasi, bukan dari BUMN dan APBN tidak apa-apa, cuma pemerintah harusnya lebih menguatkan hal-hal lain seperti industri manufacturing yang lebih memperkuat produksi," ujarnya.


Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan tidak mau ikut campur dalam proses penetapan pemenang tender kereta cepat. Dia enggan menilai investor mana yang lebih baik dipilih pemerintah. Justru, Aria menekankan pentingnya publik mengkritisi dan menyoroti proses pengadaan yang akan digelar pemerintah.

Kereta Mahal

Pada kesempatan terpisah, Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas menilai pembangunan kereta super cepat Jakarta – Bandung tidak diperlukan masyarakat, baik sekarang maupun yang akan datang karena sarat akan kepentingan Jepang maupun China.


Menurutnya, meskipun kereta cepat akan membuat perjalanan Jakarta – Bandung dapat ditempuh dalam 37 menit, tapi dengan tarif yang tinggi, belum tentu akan menjadi pilihan warga.  


"Bila kereta cepat tersebut dibangun oleh swasta, tentu tarifnya akan sama dengan tiket pesawat, sehingga orang akan tetap memilih naik pesawat terbang, akhirnya infrastruktur itu akan terbengkelai dan menjadi beban negara," tuturnya.

Darmaningtyas menambahkan, hal yang tidak pernah disadari oleh para penggagas proyek tersebut adalah bagaimana mengatasi kemacetan di dalam kota yang selama ini menghambat perjalanan.


Selama ini, katanya, perjalanan rute Bandung - Jakarta dengan mobil atau kereta api jauh lebih cepat dari pada perjalanan di dalam kota karena macet.

"Oleh karena itu lebih baik mengalokasikan dana yang besar untuk pembangunan angkutan umum massal di Jakarta atau memeratakan pembangunan infrastruktur agar tidak terkonsentrasi di Jakarta saja, sehingga penduduk pun menyebar ke daerah-daerah di luar Jawa akhirnya kemacetan di Jakarta terurai dengan sendirinya," tuturnya.

Sebelumnya, pemerintah China meminta pesaing tunggalnya, Jepang, menghormati proses evaluasi proposal yang tengah dilakukan pemerintah Indonesia.

Sebagai informasi, pada Rabu (26/8) Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengirim utusannya, Penasihat Khusus Perdana Menteri Jepang Hiroto Izumi, untuk menemui Presiden Joko Widodo, terkait usulan tambahan dalam proposal proyek kereta cepat.

Tambahan tersebut adalah waktu pembangunan yang lebih cepat dari tawaran sebelumnya, yakni lima tahun, serta transfer teknologi.

Saat bertemu Presiden China Xi Jin Ping di Jakarta Convention Center pada acara peringatan KTT Non Blok ke-60 (22/4), Presiden Jokowi memperjelas komitmen China merealisasikan pembangunan kereta Super Cepat Jakarta - Bandung.

Pertemuan itu kemudian ditindak-lanjuti dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sejumlah perusahaan BUMN dengan BUMN China mengenai realisasi pelaksanaan pembangunannya. Dengan demikian, kesepakatan tersebut bukan G to G (Government to Government), melainkan B to B (Business to Business).


Sumber


© Copyright 2017 INKA - All Rights Reserved